Pengertian, Hukum dan Ketentuan Utang Piutang

https://pendidikanagamaislamdanbp.blogspot.com/
Pengertian, Hukum dan Ketentuan Utang Piutang
FIkih - Utang piutang adalah salah satu bentuk kerjasama atau tolong menolong dalam kehidupan manusia. Dalam pembahasan sebelumnya, telah mempelajari tentang Pengertian, Hukum, Rukun dan Syarat Gadai.
Antara pinjam meminjam dengan utang piutang objeknya sama yaitu dapat berupa barang atau uang, perbedaanya adalah, kalau kegiatan pinjam meminjam harus mengembalikan barang pinjaman pada batas waktu yang telah ditentukan. Sedangkan dalam kegiatan utang piutang jika utang tersebut dalam bentuk pembelian barang, maka dapat menjadi milik pribadi (penghutang) secara penuh, apabila hutang telah lunas, misalnya hutang mobil, rumah atau barang lainya.
Dalam pembahasan utang piutang, Ananda akan mendapatkan penjelasan hukum utang piutang, ketentuan utang piutang, dan Praktik utang piutang dalam Lembaga Keuangan Syariah (Bank Umum Syariah atau BPR syariah, Koperasi Syariah dan BMT)

1. Hukum utang piutang
Hukum utang piutang pada asalnya adalah mubah atau boleh, namun bisa berubah menjadi sunah, wajib, atau haram tergantung dari latar belakang alasan yang mendasarinya. Lebih lanjut penjelasanya sebagai berikut :
  1. Mubah atau boleh, sebagaimana hukum asal dari utang piutang
  2. Sunah, apabila orang yang berhutang dalam keadaan terpaksa. Misalnya, utang makanan pokok demi untuk memberi makan keluarganya
  3. Wajib, apabila pemberi hutang mendapati orang yang sangat membutuhkan bantuan, misalnya member hutangan kepada orang yang membutuhkan untuk operasi demi kesembuhan dari suatu penyakit, sementara yang berhutang tidak ada yang menolong
  4. Haram, apabila orang yang memberi hutang mengetahui penggunaan utang untuk hal-hal yang dilarang agama, misalnya utang untuk membeli minum minuman keras, judi atau lainya.
Dasar hukum yang digunakan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 dan hadits Nabi Muhammad
Saw., di bawah ini :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2).
“Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada muslim (yang lain) dua kali pinjaman kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya satu kali”. (HR. Ibnu Majah)

2. Ketentuan utang piutang
Dalam kehidupan bermasyarakat, sering terjadi pertikaian antar warga. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman mereka tentang ketentuan utang piutang menurut Islam. Untuk menghindari perselisihan yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Hutang piutang lebih baik ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah Swt., Q.S.. Al-Baqarah : 282 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.Janganlah saksi- saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muaamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu”

b. Pemberi hutang tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
“Setiap hutang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi pemberi hutang), maka hukumnya riba”.
c. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Swt. akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya), maka Allah Swt. akan membinasakannya”. (HR. Bukhari)

d. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.

Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.

e. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman. Hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak pemberi hutang.
f. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin apabila ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya. Sebab orang yang menunda- menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari Muslim)

g. Memberikan penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah Swt. berfirman:
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S.. Al-Baqarah: 280).

3. Utang piutang dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di samping sebagai lembaga komersial (mencari keuntungan), juga berperan sebagai lembaga sosial (tidak mencari keuntungan). Bentuk peran LKS sebagai lembaga sosialnya diantaranya Qarḍ al-Hasan yaitu melayani utang piutang tanpa mengambil bagi hasil keuntungan.
LKS sebagai lembaga komersial melayani utang piutang dengan akad di antaranya :
a. Muḍarabah, yaitu kerjasama mitra usaha dan investasi
b. Murabaḥah, yaitu jual beli dengan menyatakan harga pokok dan keuntungan
c. Musyarakah, yaitu kerjasama modal usaha
d. Iṡtisna’, yaitu jual beli berdasarkan pesanan
e. Rahn (Gadai), yaitu penyerahan barang yang dilakukan oleh penghutang sebagai jaminan atas hutangnya.
f. Dll

LKS sebagai lembaga sosial melayani utang piutang dengan akad Qardh Al Hasan (pinjaman kebajikan). Prinsip utang piutang dalam sitemQardh Al Hasan yakni : suatu akad hutang kepada nasabah dengan ketentuan hanya mengembalikan pokok hutang, tanpa adanya penambahan bagi hasil keuntungan
a. Ketentuan umum Qarḍ al-Hasan

1). Pinjaman diberikan kepada nasabah yang sangat memerlukan
2). Nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima sesuai batas waktu yang telah dipakati
3). Biaya adminitrasi dapat dibebankan kepada nasabah
4). LKS dapat meminta jaminan/agunan apabila dipandang perlu
5). Nasabah dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela selama tidak diperjanjikan dalam akad
6). Apabila sampai batas waktu nasabah tidak dapat mengembalikan hutangnya dan LKS telah memastikan ketitak mampuanya, maka LKS dapat :pertama memperpanjan jangka waktu pengembalianya, kedua menghapus sebagian atau seluruh kewajiban nasabah.

b. Sumber dana Qarḍ al-Hasan:
1). bagian modal LKS
2). keuntungan LKS yang disisihkan
3). lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Multiplex pai bawah